Rejang Lebong Mendidih: APBD Dikuras Sindikat ‘Nodong’ Berkedok Pengawas Hukum?
REJANG LEBONG – Aroma tak sedap dugaan pemerasan berbalut dana hibah di Kabupaten Rejang Lebong kian menguat. Sejumlah lembaga vertikal di daerah tersebut dikabarkan secara sistematis “meminta jatah” dana hibah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setempat setiap tahunnya. Alih-alih berfungsi sebagai pengawas dan penegak hukum yang independen, lembaga-lembaga ini dituding masyarakat telah bersekongkol menutupi berbagai kasus demi mengamankan kucuran dana miliaran rupiah.
Isu ini mencuat ke publik dan menjadi perbincangan panas di media sosial, terutama TikTok, di mana warga meluapkan kekesalan mereka. Narasi yang beredar menyebutkan adanya ancaman pembongkaran kasus atau penangkapan jika permintaan dana hibah tidak dipenuhi oleh Bupati dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Rejang Lebong.
Modus Operandi: Ancaman Berujung Jatah Aman?
Masyarakat secara blak-blakan menyebut praktik ini sebagai “nodong” (meminta paksa). Ironisnya, lembaga yang seharusnya menjadi benteng hukum dan pengawas keuangan daerah justru diduga menjadi bagian dari persoalan korupsi struktural di Rejang Lebong.
“Dia bukan diberi tapi memintak kalau enggak dikasih selalu di ganggu,” ungkap seorang warga TikTok dengan akun @bilas. Ia menyoroti alokasi fantastis yang tidak sepadan dengan manfaat publik, seperti kantor kejaksaan yang disebut menerima Rp7 miliar namun “satu menitpun enggak pernah di manfaatkan.”
Komentar ini mengindikasikan adanya dugaan ketidakwajaran dalam penggunaan dana hibah tersebut, yang seharusnya ditujukan untuk kepentingan publik, bukan untuk operasional lembaga vertikal yang sudah memiliki anggaran dari pusat.
Reaksi Publik dan Sorotan Terhadap Akuntabilitas
Isu ini telah memicu beragam komentar dari masyarakat, khususnya di platform media sosial. Banyak warganet menyampaikan keprihatinan mereka terkait dugaan penyalahgunaan dana publik dan kurangnya transparansi dalam pengelolaannya di daerah. Beberapa komentar mencerminkan adanya ketidakpuasan terhadap kondisi daerah dan tata kelola pemerintahan.
Perbincangan yang berkembang di ruang publik ini menunjukkan adanya permintaan yang kuat dari masyarakat agar pengelolaan dana publik dilakukan secara transparan dan akuntabel. Warga berharap agar setiap alokasi anggaran, termasuk dana hibah, benar-benar memberikan manfaat nyata bagi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pengawasan publik dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Transparansi dalam proses penganggaran dan penggunaan dana hibah sangat krusial untuk memastikan bahwa sumber daya publik digunakan secara efektif dan efisien demi kepentingan seluruh masyarakat.(Red)












